CERITA BERTEMA MORAL DAN EMPATI REMAJA AWAL

Terbit pada Jurnal Psikologi Persona Volume 01 Nomor 01 Juni 2012

 

 

Oleh:

Muhammad Muchlish Hasyim

Muhammad Farid

Sahat Saragih

 

 

Abstract,  Experimental study examines the moral-themed stories to foster empathy on adolescence. Research subjects 205 early adolescents, 103 adolescents (56 males, 47 females) selected as the experimental group, and 102 (61 male, 41 female) were selected as the control group. Sixteen given moral-themed stories twice a week. Experiments using the One Group Post-test Design. Control is done by banning adolescence on the experimental group discuss, or lend anything to do with the course of the experiment. Reinforcement is done by discussion and question and answer, draw conclusions in the form of wisdom, and benefits in daily life; Any story, story teller lend sheets to adolescence groups of experiments to be read again at home to make it more understandable. After the eighth week end of the experiment, measurements of empathy were taken with the Davis Interpersonal Relativity Index (IRI). Experimental results showed: 1) Empathy fantasy of experimental was higher than the control group; 2) Average of empathy at all aspects no differ between the experimental and the control group; 3) Average of perspective taking empathy on girls was higher than boys; 4) Average on all aspects of empathy did not differ between boys and girls. Themed story can only cultivate the moral character of fantasy empathy. Moral themed stories will make adolescent lost in fictional stories and imagine themselves in the same situation as fictional characters. The findings are discussed in terms of their implications for early adolescent in context.

 

Key words: Themed strory moral, emphaty, early adolescence

 

Intisari, Studi eksperimental mengkaji cerita bertema moral sebagai metode pendidikan karakter untuk menumbuhkankembangkan empati remaja awal. Subjek penelitian 205 remaja awal, 103 remaja (56 laki-laki, 47 perempuan) dipilih sebagai kelompok eksperimen, dan 102 (61 laki-laki, 41 perempuan) dipilih sebagai kelompok control. Enam belas cerita bertema moral diberikan seminggu dua kali. Eksperimen menggunakan One Group Post-test Design. Kontrol dilakukan dengan cara melarang remaja kelompok eksperimen berdiskusi, atau meminjamkan segala sesuatu yang berkaitan dengan jalannya eksperimen. Penguatan dilakukan dengan cara pembahasan dan Tanya jawab, menarik kesimpulan berupa hikmah, dan manfaat dalam kehidupan sehari-hari; Setiap cerita, pencerita meminjamkan lembar cerita kepada remaja kelompok eksperimen untuk dibaca kembali di rumah agar lebih dipahami. Setelah minggu ke 8 akhir kegiatan eksperimen, dilakukan pengukuran empati dengan Davis Interpersonal Relativity Index (IRI). Hasil eksperimen menunjukkan: 1) Rerata aspek empati fantasi secara signifikan berbeda antara kelompok eksperimen dan kelompok control (p = 0,018 < 0,05). Empati fantasi kelompok eksperimen (21,34) lebih tinggi dari kelompok control (20,12); 2) Rerata aspek empati pengambilan perspektif (20,82 (eksperimen) 20,24 (control)), keprihatinan empatik (20,94 (eksperimen) 21,15 (control)), dan distress pribadi (19,19 (eksperimen) 19,18 (control)) tidak berbeda antara kelompok eksperimen dan kelompok control (p > 0,05); 3) Rerata empati pada semua aspek tidak berbeda antara kelompok eksperimen (82,29) dan kelompok control (80,68), p > 0,05; 4) rerata empati pengambilan perspektif remaja perempuan (21,28) secara signifikan (p=0,011 < 0,05) lebih tinggi dari remaja laki-laki (19,96); 5) rerata aspek empati fantasi (20,68 (laki-laki) 20,80 (perempuan)), kepribadian empatik (20,89 (laki-laki) 21,25 (perempuan)), dan distress pribadi (19,05 (laki-laki) 19,36 (perempuan)) tidak berbeda antara remaja laki-laki dan perempuan (p>0,05); 6) Rerata empati pada semua aspek tidak berbeda antara remaja laki-laki (80,58) dan perempuan (82,69), p > 0,05. Cerita bertema moral hanya dapat menumbuhkan karakter empati fantasi. Cerita bertema moral akan membuat remaja hanyut dalam cerita-cerita fiksi dan membayangkan diri dalam situasi yang sama sebagai karakter fiksi.

Kata kunci: Cerita bertema moral, empati, remaja awal.

 

 

Masyarakat cenderung mengalami penurunan empati dalam interaksi sosial antar individu.  Anak-anak yang tidak empati pelit kepada temannya, tiba masa remaja suka berkelahi. Remaja yang tidak empati perilakunya brutal terhadap orang lain yang dianggap berbeda atau tidak disukainya, kelak dewasa tidak ambil peduli terhadap kesusahan orang lain, bila sudah bekerja suka korupsi (Sejiwa, 2008), bila menjadi politikus tidak menerapkan politik empati (Yunarto, 2010).

Sikap keseharian akan mempermudah membudayakan sikap peduli dalam lingkungan sekitar. Bukan tidak mungkin suatu saat budaya kepedulian menular kepada lingkup yang lebih besar (Ho, 2010). Kekuatan empati dapat membangun karakter diri yang lebih mencair dan menyatu ke dalam semua peluang dan tantangan kehidupan (Djajendra, 2010). Mumpung belum terlanjur, remaja perlu dicekoki dan dirasuki empati. Cerita bertema moral  diharapkan dapat dapat digunakan untuk menumbuhkembangkan empati remaja.

Wawasan yang luas dan perilaku yang menghormati perbedaan akan menjadi modal yang kuat untuk memperkuat perasaan empati (Djajendra, 2010). Cerita memiliki kekuatan dalam membangun imajinasi, menanamkan (transformasi) nilai-nilai dan etika, bahkan menanamkan empati dan rasa kesetiakawanan pada sesama (Sarumpaet, 1996). Cerita bertema moral diharapkan akan menumbuhkan dan memelihara empati. Tumbuh kembang empati akan menjadikan remaja bergaul dengan baik, mampu berteman, dan memiliki inisiatif membantu orang lain yang berada dalam kesulitan (Risman dalam Ummi, 2001).

 

Empati

Empati adalah keadaan psikologis yang mendalam, seseorang menempatkan pikiran dan perasaan diri sendiri ke dalam pikiran dan perasaan orang lain yang dikenal maupun orang yang tidak dikenal. Empati terdiri dari pengambilan perspektif, fantasi, keprihatinan empatik, dan personal distres. Pengambilan perspektif adalah kecenderungan untuk mengambil sudut pandang orang lain. Fantasi adalah kecenderungan hanyut dalam cerita-cerita fiksi dan membayangkan diri dalam situasi yang sama sebagai karakter fiksi. Keprihatinan empatikadalah tindakan simpati dan kepedulian terhadap orang lain yang mengalami kesulitan. Distres pribadi adalah respon emosional yang berfokus pada diri terhadap keadaan atau kondisi orang lain, seperti ketidaknyamanan atau kecemasan (Davis, 1980).

 

Cerita bertema moral

Cerita bertema moral adalah tuturan yang membentangkan peristiwa berdasarkan pokok pikiran moral, yaitu moral dan kelakuan baik dalam menjalani kehidupan sebagai suatu pesan ajaran moral yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya.  

Eksperimen menggunakan 16 cerita bertema moral terbaik dari 2 buku cerita moral populer versi penjualan terbanyak. Masing-masing buku terdiri dari 100 cerita. Pada penilaian pertama terpilih 50 cerita, pada penilaian ke dua terpilih 40 cerita, pada penilaian ke tiga terpilih 30 cerita, pada penilaian ke empat terpilih 20 cerita, pada penilaian terakhir terpilih 16 cerita.

 

Cerita bertema moral dan empati

Orang yang mengikuti cerita akan berimajinasi dalam pikirannya untuk selalu melakukan sikap empati kepada orang lain (Muhtadi, 1998). Orang yang mempunyai rasa empati yang sudah cukup tinggi, biasanya akan ikut terhanyut dalam cerita, dan tak jarang ikut sedih atau menangis. Pada saat suasana seperti ini, terjadilah tanggapan dalam diri tentang konsep orang baik dan orang yang tidak baik atau jahat, serta konsep perlunya sikap empati.

Kegiatan bercerita akan memberikan dua hal yang amat dalam kehidupan siswa, yaitu akar dan sayap. Memberikan akar,artinya memberikan seperangkat nilai yang akan menolong siswa  menghadapi kehidupan, membedakan mana yang abadi dan mana yang sekedar mode. Memberikan sayap, artinya menolong siswa menemukan kebebasan sejati, kebebasan untuk merumuskan harapan masa depan dan kesanggupan untuk rnemperjuangkannya

Ada suatu proses belajar dimana dalam diri remaja akan terbentuk sikap dan perilaku moral yang hendak diajarkan. Teori belajar sosial atau teori kognsi sosial menekankan pada sisi kogitif seseorang. Hal ini memberi kesan bahwa pikiran (mind) merupakan kekuatan (daya) aktif yang membentuk realitas sesorang, mengkodekan informasi secara selektif, melakukan suatu perilaku berdasar pada nilai-nilai dan harapan-harapan, serta menentukan struktur atas perilakunya sendiri (Bandura dalam http://id.wikipedia.org /wiki/Teori_Kognitif_Sosial).

 

Hipotesis

Cerita bertema moral dapat menumbuhkan dan mengembangkan empati remaja awal.

 

Subjek

Subjek penelitian adalah 205 remaja, terdiri dari 103 remaja laki-laki dan 102 perempuan, remaja awal (usia 12-13 tahun)

 

Alat ukur

Penelitian ini menggunakan 28 aitem Davis’ Interpersenal Reactivity Index (IRI) (Davis, 1980; Navarro, 2004) untuk mengukur empat aspek empati yaitu pengambilan perspektif, fantasi, keprihatinan empatik, dan distres pribadi. IRI diberikan dalam skala 4-poin, kontinum sesuai skor 4, hampir sesuai skor 3, cukup sesuai skor 2, kurang sesuai skor 1, tidak sesuai skor 0.

IRI versi pertama terdiri dari 50 item. Beberapa item diadopsi dari Mehrabian & Epstein Emotional Emphaty Scale dan Stotland’s Fantasy-Empathy Scale. Item-item baru digunakan untuk mengukur aspek kognitif empati dan berbagai macam respon emosional. Analisis faktor melibatkan 201 responden laki-laki dan 251 responden perempuan. Item-item diberikan dalam 5-poin dari 0 sampai 4. Hasil analisis diperoleh empat pengelompokan, yaitu kelompok item fantasi, pengambilan perspektif, keprihatinan empatik, dan personal distres. Walaupun empat faktor sangat kuat terdapat pada laki-laki dan perempuan, beberapa item dalam faktor kurang dapat diinterpretasi.

IRI versi ke dua terdiri dari 45 item, terdiri dari item-item yang diambil secara utuh dari versi pertama, item-item versi pertama yang diadaptasi, dan item-item baru yang ditulis untuk memenuhi salah satu dari empat faktor empati. Analisis faktor IRI versi kedua melibatkan 221 laki-laki dan 206 perempuan yang diambil dari kelas mahasiswa fakultas psikologi.

Analisis faktor terpisah dilakukan pada data yang dikumpulkan dari responden laki-laki dan perempuan. Analisis untuk mengetahui apakah ada atau tidak struktur faktor yang disarankan oleh analisis sebelumnya akan muncul dari respon terhadap versi kedua. Faktor-faktor yang muncul dari analisis hampir identik dalam kedua jenis kelamin, yaitu fantasi, pengambilan perspektif, keprihatinan empatik, dan item personal distres.  

Seleksi sub skala empati dilakukan untuk menghasilkan instrumen terkuat yang dapat diandalkan. Pemilihan item pada keempat subskala didasari dua pertimbangan, yaitu; 1) Item diperiksa untuk memastikan bobot item-item yang paling banyak dimuat pada responden laki-laki dan perempuan; 2) Item-item yang memiliki bobot tertinggi pada responden laki-laki dan perempuan dipilih untuk dimasukkan dalam sub skala.

Hasil pemeriksaan dan pemilihan 45 item IRI versi ke dua menghasilkan 28 item, terdiri dari 7 item sub skala fantasi (Standardized alpha coefficients: laki-laki 0,78; perempuan 0,79), 7 item sub skala pengambilan perspektif (Standardized alpha coefficients: laki-laki 0,71; perempuan 0,75), 7 item subskala keprihatinan empatik (Standardized alpha coefficients: laki-laki 0,68; perempuan 0,73), dan 7 item sub skala personal distres (Standardized alpha coefficients: laki-laki 0,77; perempuan 0,75).

 

Desain eksperimen

Cerita bertema moral diberikan dalam kondisi terkontrol untuk mengatahui pengaruhnya terhadap empati. Desain eksperimen yang digunakan adalah One Group Post-test Design. Menggunakan satu variabel tergantung, tidak dilakukan pengukuran terlebih dahulu, dan menggunakan dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen yang diberikan cerita bertema moraldan kelompok kontrol non perlakuan.

 

Teknik analisis

One Way Anova digunakan untuk menguji perbedaan empati laki-laki dan perempuan, dan perbedaan empati kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Independent t-test digunakan untuk uji beda empati dan aspek-aspek empati laki-laki dan perempuan dan empati dan aspek-aspek empati kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

 

Uji hipotesis

Rerata aspek empati pengambilan perspektif secara signifikan berbeda antara remaja laki-laki dan perempuan. Empati pengambilan perspektif pada remaja perempuan lebih tinggi dari remaja laki-laki. Rerata aspek empati fantasi, keprihatinan empatik, dan distres pribadi tidak berbeda antara remaja laki-laki dan perempuan. Rerata empati tidak berbeda antara remaja laki-laki dan perempuan.

 

 

Rerata empati laki-laki dan perempuan

Aspek-aspek

Rerata

F

p

Laki-laki (N 117)

Perempuan (N 88)

Pengambilan perspektif

19,96

21,28

6,559

0,011*

Fantasi

20,68

20,80

0,045

0,832

Keprihatinan empatik

20,89

21,25

0,620

0,432

Distres pribadi

19,05

19,36

0,346

0,557

Empati

80,58

82,69

1,964

0,163

* p < 0,05 signifikan

 

 

Rerata aspek empati fantasi secara signifikan berbeda antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Empati fantasi kelompok eksperimen lebih tinggi dari kelompok kontrol. Rerata aspek empati pengambilan perspektif, keprihatinan empatik, dan distres pribadi tidak berbeda antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Rerata empati tidak berbeda antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

 

 

Rerata empati kelompok eksperimen dan kontrol

Aspek-aspek

Rerata

F

p

Eksperimen (N 103)

Kontrol (N 102)

Pengambilan perspektif

20,82

20,24

1,247

0,256

Fantasi

21,34

20,12

5,680

0,018*

Keprihatinan empatik

20,94

21,15

0,204

0,652

Distres pribadi

19,19

19,18

0,001

0,973

Empati

82,29

80,68

1,167

0,281

              * p < 0,05 signifikan

 

 

Hipotesis cerita bertema moral berpengaruh positif terhadap empati remaja awal, ditolak. Cerita bertema moral hanya dapat menumbuhkan empati fantasi. Cerita bertema moral akan membuat remaja hanyut dalam cerita-cerita fiksi dan membayangkan diri dalam situasi yang sama sebagai karakter fiksi.

 

Pembahasan

Kandungan empati dalam 16 cerita bertema moral yang disampaikan dalam waktu dua bulan belum menghasilkan proses internalisasi nilai-nilai empati. Skala yang digunakan (IRI) tidak memperhitungkan perbedaan kompleksitas kognitif dalam hirarkhi nilai-nilai subjek dan tidak membedakan antara perkembangan nilai yang matang dan tidak matang (mature and immature).

Nilai tampak sebagai nilai hanya pada tahap ke tiga dan keempat dalam teori perkembangan kognitif Piaget’s. Pada tahap pertama {pra operasional (2 s/d 7 tahun)}, karakteristiknya adalah bukan norma – bukan nilai, dan tahap kedua {operasional konkrit (7 s/d 11 tahun)}, karakteristiknya adalah norma bukan nilai. Pada tahap ketiga {generalisasi konkrit (> 12 tahun)}, karakteristiknya adalah norma sebagai nilai, dan pada tahap keempat (operasional formal), karakteristiknya adalah nilai-nilai terinternalisasi sebagai norma (Keats, 1986). Nilai-nilai empati yang terukur dengan Davis’ Interpersonal Relativity Index (IRI) ditujukan pada remaja awal usia 12-13 tahun dalam perkembangan kognitif tahap ke tiga, yaitu generalisasi konkrit dengan karakteristik norma sebagai nilai. Nilai-nilai empati belum terinternalisasi sebagai norma yang berguna sebagai pedoman perilaku empatis yang termasuk pada perkembangan kognitif yang lebih matang (tahap operasional formal).

Eksperimen cerita bertema moral hanya meningkatkan empati fantasi. Temuan penelitian kemungkinan karena IRI versi asli didesain untuk mengukur empati remaja akhir berstatus mahasiswa. Modifikasi aitem-aitem IRI tidak dilakukan dalam penelitian dengan subjek remaja awal. Perbedaan subjek pada desain IRI versi assli dan penelitian remaja awal menjadi sumber bias yang memungkinkan eksperimen hanya mampu meningkatkan empati fantasi dan tidak mempertinggi empati pengambilan perspektif, empati keprihatinan empatik, serta empati distres pribadi.

Experimen cerita bertema moral disampaikan guru Bahasa Indonesia kemungkinan menjadi sumber bias. Remaja awal kemungkinan memiliki tanggapan cerita yang disampaikan guru adalah kegiatan yang terkait dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Remaja awal kemungkinan menjadi kurang fokus pada substansi empati di dalam unsur-unsur dan tokoh-tokoh cerita. Remaja awal kemungkinan lebih fokus pada isi ceritera sebagai bagian dari materi mata pelajaran Bahasa Indonesia yang harus diingat dan dihafal, bukan bagaimana pengaruh substansi isi ceritera empati akan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.

Karakter adalah sifat khas, kualitas, dan kekuatan moral, atau kepribadian. Karakter terbentuk dari hasil internalisasi nilai-nilai kebajikan (vittue) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Nilai terbentuk melalui pendidikan, pengalaman, cobaan hidup, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan, kemudian terinternalisasi. Nilai-nilai menjadi intrinsik dan melandasi sikap dan perilaku yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan yang terjaga dan terpelihara, dan akhirnya menjadi karakter. Pendidikan karakter merupakan usaha sadar dan terencana dalam menanamkan nilai-nilai sehingga terinternalisasi dalam diri peserta didik yang mendorong dan mewujud dalam sikap dan perilaku yang baik. Pendidikan karakter berusaha menanamkan dan menebarkan kebajikan.

Temuan penelitian memberi wawasan bahwa pendidikan karakter bukan terletak pada materi pembelajaran, melainkan pada aktivitas yang melekat, mengiringi, dan menyertainya (suasana yang mewarnai, tercermin dan melingkupi proses pembelajaran pembiasaan sikap dan perilaku yang baik) pendidikan karakter tidak berbasis pada materi, tetapi pada kegiatan. Tujuan pendidikan karakter empati adalah membantu remaja mengembangkan potensi kebajikan, sehingga terwujud dalam kebisaan baik (hati, pikiran, perkataan, sikap, dan perbuatan).

 

Daftar pustaka

Bandura dalam http://id.wikipedia.org /wiki/Teori_Kognitif_Sosial

Davis, M. H. (1980). A Multidimensional Approach to Individual Differences in Empathy. JSAS Catalog of Selected Documents in Psychology, 10, 85.

Djajendra (2010). Empati dapat mengurangi konflik. http://kecerdasan motivasi. wordpress.com/ 2010/09/11/ empati-dapat-mengurangi-konflik/. Download 14-9-2011.

Ho, A. (2010). Ciptakan kehidupan ideal dengan kepedulian. http://www.andriewongso. com/artikel/viewarticleprint.php?idartikel=3187. Download 14-9-2011.

Keat, D.M. (1986). Using the Cros-Cultural Method to Study the Development of Values. Australian Journal of Psychology, 30, 3, 297-308.

Muhtadi, A. (2008). Pengembangan empati anak sebagai dasar pendidikan moral. Naskah Publikasi. http://staff.uny.ac.id/sitesampaiefault/files/132280878/ 2.%20Pengembangan%20Empati%20Anak%20sebagai%20dasar%20pendidikan%20moral.pdf. Download 1-9-2011.

Navarro, M.D.F. (2009). Davis’ Interpersonal Reactivity Index (IRI). Manuscript no published. Universidad de Valencia. Spain. http://www.uv.es/~friasnav/unidinves.html

Sarumpaet, R. K. (1996). Bacaan anak-anak: suatu penyelidikan pendahuluan ke dalam hakekat, sifat, dan corak bacaan anak-anak serta minat anak pada bacaannya. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sejiwa/ Semai Jiwa Amini. (2008). Bullying, mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan. Jakarta: Grasindo.

Ummi. (2001). Mengasah Empati Pada Anak. Jakarta: Kamus Bina Tadzkia 7, 13, 64-65.

Yunarto, Y. (2010). Krisis empati wakil rakyat. http://matanews.com/2010/10/30/krisis-empati-wakil-rakyat/. Download 14-9-2011

Artikel Terkait

Belum Ada Komentar

Isi Komentar